Jumat, 23 Desember 2016
Kamis, 22 Desember 2016
Senin, 23 Mei 2016
Tafsir Tarbawi II
ADAB BERGAUL DI MASYARAKAT
QS. AL-HUJURAT AYAT 11-12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Etika social atau adab bergaul di masyarakat merupakan
suatu kewajiban dan tanggung jawab manusia sebagai anggota umat manusia. Di
sana disebutkan bahwa etika sosial berhubungan dengan seseorang serta bagaimana
caranya bersikap antar sesama, berperilaku dalam masyarakat dapat memposisikan
dirinya pada masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini penting adanya
beretika yang baik, bersikap, bertutur kata yang baik. Allah menganugerahkan
kepada manusia berupa lisan (berbicara) merupakan anugerah yang terbesar,
artinya dengan lisan manusia bisa berkomunikasi dengan yang lain. Apa yang
diinginkan manusia bisa diungkapkan dengan lisan, sehingga lisan perlu dijaga.
Artinya tidak digunakan untuk mengucapkan hal-hal yang tidak baik, jangan
sampai menggunakan lisan tersebut untuk dijadikan alat fitnah dan sumber
dosa.
Dalam hal ini surat al-Hujurat ayat 11-12 dapat
dijadikan pedoman untuk tidak menggunakan lisan menurut kehendak sendiri, yakni
tidak mengolok-olok, tidak mencela, tidak memanggil dengan gelar buruk, tidak
buruk sangka, tidak mencari-cari kesalahan orang lain dan tidak menggunjing.
Dalam hal ini, akhlak memang perlu dibina, anak didik yang tidak dibina
akhlaknya atau dibiarkan tanpa bimbingan, arahan atau pendidikan, akan menjadi
anak-anak yang nakal, mengganggu masyarakat, melakukan perbuatan tercela. Mengetahui akan pentingnya adab
dalam bergaul dalam masyarakat, pada makalah ini akan dijelaskan mengenai adab
bergaul dalam masyarakat yang terkandung dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 11-12.
B.
Rumusan masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut perlu kiranya
merumuskan masalah sebagai pijakan untuk terfokusnya kajian makalah ini. Adapun
rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana Q.S. Al-Hujurat ayat 11-12?
2.
Bagaimana mufrodat
Q.S. Al-Hujurat ayat 11-12?
3.
Bagaimana munasabah
Q.S. Al-Hujurat ayat 11-12?
4.
Bagaimana asbabun
nuzul Q.S. Al-Hujurat ayat 11-12?
5.
Bagaimana tafsiran
Q.S. Al-Hujurat ayat 11-12?
6.
Apa aspek tarbawi
yang terkandung dalam Q.S. Al-Hujurat
ayat 11-12?
C.
Metode Pemecahan
Masalah
Metode pemecahan masalah yang dilakukan
melalui study literatur /metode kajian pustaka, yaitu dengan menggunakan
beberapa referensi buku atau dari referensi lainnya yang merujuk pada
permasalahan yang dibahas. Langkah-langkah pemecahan masalahnya dimulai dengan
menentukan masalah yang akan dibahas dengan melakukan perumusan masalah,
melakukan langkah-langkah pengkajian masalah, penentuan tujuan dan sasaran,
perumusan jawaban permasalahan dari berbagai sumber, dan penyintesisan serta
pengorganisasian jawaban permasalahan.
D.
Sistematika Penulisan
Makalah
Makalah
ini ditulis dalam tiga bagian, meliputi : Bab I, bagian pendahuluan yang
terdiri dari : latar belakang masalah, perumusan masalah, metode pemecahan
masalah, dan sistematika penulisan
makalah; Bab II, adalah pembahasan; Bab III,
bagian penutup yang terdiri dari simpulan dan saran-saran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Q.S. Al-Hujurat ayat 11-12
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka
(yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan
pula wanita-wanita lain (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh
jadi wanita-wanita (yang diolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang
mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu
panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka
mereka itulah orang-orang yang lazim. Q.S Al Hujurat : 11
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu
dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan
satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang. Q.S Al Hujurat : 12
Ayat diatas masih merupakan lanjutan tuntunan ayat yang lalu.
Hanya di sini ha-hal buruk yang sifatnya tersembunyi, karena itu panggilanmesra
kepada orang-orang beriman diulangi untuk yang telah dilarang oleh ayat yang
lalu boleh jadi panggilan/gelar itu dilakukan atas dasar dugaan yang tidak berdasar.[1]
B. Mufrodat
Mufrodat
|
Arti
|
1. قوم
|
Orang-orang laki-laki
|
2. ولاتلمزو
|
Janganlah kamu mencela dirimu sendiri
|
3. ولاتنابزو
|
Saling mengejek dan panggil-panggilan dengan
gelar-gelar yang tidak disukai
|
4.
الاءسم
|
Nama dan kemasyuran[2]
|
5. ٳجتنبوا
|
Samping
|
6. كثيرا
|
Kebanyakan
|
7.
تجسّسوا
|
Upaya mencari tahu dengan cara tersembunyi
|
8. يغتب
|
Tidak hadir
|
C.
Munasabah
Dalam ayat-ayat yang lalu, Allah SWT
menerangkan bagaimana seharusnya sikap dan akhlak orang-orang mukmin terhadap
nabi SAW dan terhadap orang-orang munafik, maka pada ayat berikut ini Allah
menjelaskan bagaimana sebaiknya pergaulan orang-orang mukmin di tengah-tengah
kaum mukminin sendiri. Di antaranya, mereka dilarang memperolok-olokan
saudara-saudaranya mereka, memanggil-manggil mereka dengan gelar-gelar yang
buruk dan berbagai tindakan yang menjurus kearah permusuhan dan kedzaliman. Selanjutnya dalam ayat 12 surat
Al-Hujurat etika hubungan tersebut dilanjutkan dengan larangan saling berburuk
sangka (negatif thinking), menghindari mencari-cari kesalahan orang lain,
membicarakan keburukan orang lain (menggunjing) agar terhindar dari perbuatan
tersebut seseorang hendaknya meningkatkan ketakwaan kepada Allah. [3]
D.
Asbabun nuzul
Al-Hakim dan lainnya meriwayatkan dari Abu Jabairah,
ia mengatakan bahwa dahulu sering ada julukan-julukan pada masa Jahiliyah
sehingga Rasulullah Saw. pernah memanggil seorang laki-laki dengan julukan.
Kemudian ada seorang yang berkata kepada beliau, “wahai Rasulullah, sungguh ia
benci terhadap panggilan itu. Maka Allah menurunkan ayat, “Dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk…”
Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Ibnu Jurair, ia
mengatakan orang-orang menyangka bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Salman
Al-Farisi yang makan kemudian tidur dan mendengkur. Salah seorang laki-laki
kemudian menuturkan makan dan tidurnya salman, maka turunlah ayat tersebut.[4]
E.
Tafsir
-
Tafsir Ibnu Katsir
Qs. Al-Hujarat ayat 11, telah diriwayatkan oleh imam ahmad
bahwa abu hubairah bin dahhak mengatakan, “ayat ini, dan janganlah kamu panggil
memanggil dengan gelar yang buruk” diturunkan berkenaan dengan kami, bani
salama. Dan, tidak ada seorangpun diantara ami melainkan dia mempunyai dua atau
tiga nama. Maka bila beliau memanggil seseorang dengan salah satu namanya, maka
orang-orang mengatakan, ya rasulallah dia marah jika dipanggil dengan nama itu.
Firman allah swt selanjutnya, “seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang
buruk sesudah iman.”, yaitu sejelek-jelek sifat ialah yang buruk. Yaiutu,
saling memanggil dengan nama yang buruk, sebagaimana sifat menyifati yang
dilakukan oleh orang-orang jahiliyah, setelah kalian masuk islam dan kalian
memahami keburukannya.
Qs. Al-Hujarat ayat
12, diriwayatkan kepada kami Amirul Mukminin Umar bin Khathab bahwa beliau
mengatakan, “Berprasangka baiklah terhadap tuturan yang keluar dari mulut
saudaramu yang beriman, sedang kamu sendiri mendapati adanya kemungkinan
tuturan itu mengandung “Kebaikan”. Diriwayatkan oleh Muslim dan Tirdmizi, lalu
beliau menyahihkannya dari hadits Sufyan bin Uyainah. Firman Allah SWT, “Dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan oranglain”.
-
Tafsir Al-Azhar
“wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
daripada prasangka.” (pangkal ayat 12). Prasangka ialah tuduhan yang
bukan-bukan persangkaan yang tidak beralasan, hanya semata-mata tuhmat yang
tidak pada tempatnya saja; “karena sesungguhnya sebagian daripada prasangka
itu adalah dosa.” Prasangka adalah dosa, karena dia adalah tuduhan yang
tidak beralasan dan bisa saja memutuskan silaturahmi di antaradua orang yang
terbaik.
“Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.”
Mengorek-ngorek kalau-kalau ada si anu dan si fulan bersalah, untuk menjatuhkan
maruah si fulandi muka umum. “Dan janganlah kamu sebagian kamu
menggunjing sebagian lain.” Menggunjing adalah membicarakan aib dan
keburukan seseorang sedang dia tidak hadir, sedang dia berada di tempat lain.
Ini adalah perbuatan hina dan pengecut! Dalam lanjutan ayat dikatakan; “Apakah
suka seseorang di antara kamu memakan saudaranya yang sudah mati?”
Artinya, bahwasannya membicarakan keburukan seseorang yang tidak hadir, samalah
artinya memakan daging manusia yang sudah mati,tegasnya makan bangkai yang
busuk. Begitulah hinanya! Kalau engkau seorang manusia yang bertanggungjawab,
mengapa engkau tidak mau mengatakan di hadapan orang itu terang-terang apa
kesalahannya, supaya diubahnya kepada yang baik? “Maka jijiklah kamu kamu
kepadanya.” Memakan bangkai temanmu yang telah mati sudah pasti engkau
jijik. Maka membicarakan aib celanya sedang saudara itu tidak ada samalah
artinya dengan memakan bangkainya. Kalau ada sececah iman dalam hatimu tentu
engkau percaya apa yang disabdakan Tuhan.
“Dan bertakwalah kepada Allah: sesungguhnya Allah adalah
penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (ujung ayat 12). Artinya, jika selama ini
perangai yang buruk ini ada pada dirimu, mulai sekarang segeralah hentikan dan
bertaubatlah daripada kesalahan yang hina itu disertai dengan penyelasan dan
bertaubat. Allah senantiasa membuka pintu kasih sayang-Nya, membuka pintu
selebar-lebarnya menerima kedatangan para hamba-Nya yang ingin menukar
perbuatan yang salah dengan perbuatan yang baik, kelakuan yang durjana hina
dengan kelakuan yang terpuji sebagai manusia yang budiman.[5]
Dalam hal
ini etika sosial yang terkandung dalam surat al- Hujurat ayat 11- 12 terhadap
pembinaan akhlak yakni:
1. Tidak
mengolok-olok
Dengan tidak
mengolok-olok orang lain, menjadikan pribadi muslim tidak suka mengejek dan
tidak sombong terhadap orang lain. Petunjuk al-Qur’an yang tertanam dalam jiwa
seorang muslim akan melahirkan pribadi yang mencintai dan tawadhu’ serta jauh
dari sifat takabur dan merasa lebih tinggi dari orang lain.
2. Tidak Mencela
Dalam hal ini, tidak mencela sebagai wujud agar tidak terjadi penghinaan terhadap diri sendiri yang berakibat ia menjadi kufur, mencegah dari kehinaan dan kenistaan.
Dalam hal ini, tidak mencela sebagai wujud agar tidak terjadi penghinaan terhadap diri sendiri yang berakibat ia menjadi kufur, mencegah dari kehinaan dan kenistaan.
3. Tidak
memanggil dengan gelar buruk
Manusia yang bermasyarakat dapat dijadikan pedoman bahwa tidak seharusnya mengikuti kehendak diri sendiri dengan memanggil seseorang dengan menyakiti atau menyinggung orang lain.
Manusia yang bermasyarakat dapat dijadikan pedoman bahwa tidak seharusnya mengikuti kehendak diri sendiri dengan memanggil seseorang dengan menyakiti atau menyinggung orang lain.
4. Tidak berburuk
sangka
Tidak berburuk sangka menggugah rasa kemanusiaan, karena dapat menjaga hubungan harmonis, baik secara vertikal maupun horisontal.
Tidak berburuk sangka menggugah rasa kemanusiaan, karena dapat menjaga hubungan harmonis, baik secara vertikal maupun horisontal.
5. Tidak
mencari-cari kesalahan orang lain
Mampu mempertimbangkan apa yang ada pada dirinya dengan yang ada pada orang-orang lain, sehingga sebelum bertindak ia memperbaiki dirinya sendiri.
Mampu mempertimbangkan apa yang ada pada dirinya dengan yang ada pada orang-orang lain, sehingga sebelum bertindak ia memperbaiki dirinya sendiri.
6. Tidak
menggunjing
Dengan tidak
menggunjing termasuk menjaga kehormatan saudaranya, dapat mencapai integritas
yang baik dan menjaga semangat kegotongroyongan serta keharmonisan.[6]
Soal-soal
yang dikecualikan dan tidak diharamkan dalam bergunjing itu ada enam perkara
yaitu:
-
Dalam rangka kedzaliman supaya dapat dibela oleh
seorang yang mampu menghilangkan kedzaliman itu.
-
Jika dijadikan bahan untuk merubah sesuatu kemungkaran
dengan menyebut-nyebut kejelekan seseorang kepada seorang penguasa yang mampu
mengadakan tindakan perbaikan.
-
Di dalam mahkamah, seorang yang mengajukan perkara
boleh melaporkan kepada mufti atau hakim bahwa ia telah dianiaya oleh seorang
penguasa yang (sebenarnya) mampu mengadakan tindakan perbaikan.
-
Memberi peringatan kepada kaum muslimin tentang suatu
kejahatan atau bahaya yang mungkin akan mengenai seseorang misalnya menuduh
saksi-saksi tidak adil, atau memperingatkan seseorang yang akan melangsungkan
pernikahan bahwa calon pengantinnya adalah seorang yang mempunyai cacat budi
pekertinya, atau mempunyai penyakit yang menular.
-
Bila orang yang diumpat itu terang-terangan melakukan
dosa di muka umum, seperti minum arak di hadapan khalayak ramai.
-
Mengenalkan seorang dengan sebutan yang kurang baik,
seperti a’war (orang yang matanya buta sebelah) jika tidak mungkin mengenalinya
kecuali dengan nama itu.
F.
Aspek tarbawi
Pelajaran yang dapat kita petik dari ayat 11-12 diantaranya
adalah sebagai berikut:
1.
Tidak dibenarkan mengejek, baik langsung dihadapan yang diejek, maupun
yang tidak langsung/ tanpa diketahui yang diejek. Baik ejekan itu dengan
isyarat, bibir, tangan, atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan.
2.
Ayat 11 melarang mengejek diri sendiri, dalam arti jangan mengejek orang
lain karena mengejek orang lain sama dengan mengejek diri sendiri. Ini karena
masyarakat adalah satu kesatuan. Itu juga berarti jangan melakukan sesuatu yang
mengundang ejekan orang lain.
3.
Larangan memberi gelar atau memanggil siapapun dengan gelar-gelar buruk.
Jangan pula menyebut aib orang lain, kendati aib itu benar. Kalau diperlukan
maka yang disebut dari aib hanya sebatas yang diperlukan.[7]
4.
Jangan
mengusik orang dalam kerahasiaannya karena setiap orang berhak menyembunyikan
apa yang enggan diketahui orang lain.
5.
Prasangka
buruk terlarang, kecuali yang mempunyai indikator yang memadai.
6.
Tidak
mencari kesalahan orang lain, mampu mempertimbangkan apa yang ada pada dirinya
dengan yang ada pada orang-orang lain, sehingga sebelum bertindak ia
memperbaiki dirinya sendiri.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Etika social atau adab bergaul di
masyarakat merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab manusia sebagai anggota
umat manusia.
Seperti yang dijelaskan dalam Q.S Al-Hujurat ayat 11-12, bahwa sesama manusia
tidak diperbolehkan mengolok-olok, mengejek, manggil memanggil dengan gelar
yang buruk, berprasangka buruk terhadap orang lain, mengusik orang dalam
kerahasiaannya dan mencari kesalaha orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghiy, Ahmad Musthafa. 1989. Tafsir Al-Maraghiy, juz XXVI,
diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal ,dkk. Semarang: CV Toha
putra.
As-Suyuthi. 2014. Asbabun
An-Nuzul, cet. I, edisi terjemahan oleh Andi
Muhamad
ayahril dan Yasir Maqasid. Jakarta: Al-Kausar.
Hamka. 1982. Tafsir Al- Azhar. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas.
Nata, Abuddin. 2002. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan. Jakarta:
PT. RajaGrafindo
Persada.
Shihab, M. Quraish. 2012. Al-lubab: makna, tujuan dan pelajaran dari surah-
surah Al-Qur’an, penyunting Abd.
Syakur Dj. Tangerang:
Lentera Hati.
. 2005. Tafsir Al-Mishbah. Tangerang: Lentera Hati.
[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Tangerang: Lentera Hati, 2005),
hlm. 254.
[2] Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, juz XXVI, diterjemahkan
oleh Anshori Umar Sitanggal ,dkk. (Semarang: CV Toha putra, 1989) hlm. 223.
[3] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 238-239.
[4] Imam As-Suyuthi, Asbabun An-Nuzul,
cet. I, edisi terjemahan oleh Andi
Muhamad ayahril dan Yasir Maqasid. (Jakarta: Al-Kausar, 2014), hlm. 498-499.
[5] Hamka, Tafsir Al- Azhar (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1982),
hlm. 205-208.
[6] M.
Quraish Shihab, Al-lubab: makna, tujuan
dan pelajaran dari surah-surah Al-Qur’an, penyunting Abd. Syakur Dj, (Tangerang:
Lentera Hati, 2012) hlm.
Langganan:
Postingan (Atom)