Senin, 23 Mei 2016

Tafsir Tarbawi II




 ADAB BERGAUL DI MASYARAKAT

QS. AL-HUJURAT AYAT 11-12




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Etika social atau adab bergaul di masyarakat merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab manusia sebagai anggota umat manusia. Di sana disebutkan bahwa etika sosial berhubungan dengan seseorang serta bagaimana caranya bersikap antar sesama, berperilaku dalam masyarakat dapat memposisikan dirinya pada masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini penting adanya beretika yang baik, bersikap, bertutur kata yang baik. Allah menganugerahkan kepada manusia berupa lisan (berbicara) merupakan anugerah yang terbesar, artinya dengan lisan manusia bisa berkomunikasi dengan yang lain. Apa yang diinginkan manusia bisa diungkapkan dengan lisan, sehingga lisan perlu dijaga. Artinya tidak digunakan untuk mengucapkan hal-hal yang tidak baik, jangan sampai menggunakan lisan tersebut untuk dijadikan alat fitnah dan sumber dosa. 
Dalam hal ini surat al-Hujurat ayat 11-12 dapat dijadikan pedoman untuk tidak menggunakan lisan menurut kehendak sendiri, yakni tidak mengolok-olok, tidak mencela, tidak memanggil dengan gelar buruk, tidak buruk sangka, tidak mencari-cari kesalahan orang lain dan tidak menggunjing. Dalam hal ini, akhlak memang perlu dibina, anak didik yang tidak dibina akhlaknya atau dibiarkan tanpa bimbingan, arahan atau pendidikan, akan menjadi anak-anak yang nakal, mengganggu masyarakat, melakukan perbuatan tercela. Mengetahui akan pentingnya adab dalam bergaul dalam masyarakat, pada makalah ini akan dijelaskan mengenai adab bergaul dalam masyarakat yang terkandung dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 11-12.
B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut  perlu kiranya merumuskan masalah sebagai pijakan untuk terfokusnya kajian makalah ini. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana Q.S. Al-Hujurat ayat 11-12?
2.      Bagaimana mufrodat Q.S. Al-Hujurat ayat 11-12?
3.      Bagaimana munasabah Q.S. Al-Hujurat ayat 11-12?
4.      Bagaimana asbabun nuzul Q.S. Al-Hujurat ayat 11-12?
5.      Bagaimana tafsiran Q.S. Al-Hujurat ayat 11-12?
6.      Apa aspek tarbawi yang terkandung dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 11-12?

C.     Metode Pemecahan Masalah
Metode pemecahan masalah yang dilakukan melalui study literatur /metode kajian pustaka, yaitu dengan menggunakan beberapa referensi buku atau dari referensi lainnya yang merujuk pada permasalahan yang dibahas. Langkah-langkah pemecahan masalahnya dimulai dengan menentukan masalah yang akan dibahas dengan melakukan perumusan masalah, melakukan langkah-langkah pengkajian masalah, penentuan tujuan dan sasaran, perumusan jawaban permasalahan dari berbagai sumber, dan penyintesisan serta pengorganisasian jawaban permasalahan.

D.    Sistematika Penulisan Makalah
Makalah ini ditulis dalam tiga bagian, meliputi : Bab I, bagian pendahuluan yang terdiri dari : latar belakang masalah, perumusan masalah, metode pemecahan masalah,  dan sistematika penulisan makalah; Bab II, adalah pembahasan; Bab III, bagian penutup yang terdiri dari simpulan dan saran-saran.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Q.S. Al-Hujurat ayat 11-12
   
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita lain (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang lazim. Q.S Al Hujurat  : 11
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Q.S Al Hujurat  : 12
Ayat diatas masih merupakan lanjutan tuntunan ayat yang lalu. Hanya di sini ha-hal buruk yang sifatnya tersembunyi, karena itu panggilanmesra kepada orang-orang beriman diulangi untuk yang telah dilarang oleh ayat yang lalu boleh jadi panggilan/gelar itu dilakukan atas dasar dugaan yang tidak berdasar.[1]
B.     Mufrodat
Mufrodat
Arti
1.      قوم 
Orang-orang laki-laki
2.     ولاتلمزو
Janganlah kamu mencela dirimu sendiri
3.     ولاتنابزو
Saling mengejek dan panggil-panggilan dengan gelar-gelar yang tidak disukai
4.      الاءسم
Nama dan kemasyuran[2]
5.     ٳجتنبوا
Samping
6.     كثيرا
Kebanyakan
7.     تجسّسوا
Upaya mencari tahu dengan cara tersembunyi
8.     يغتب
Tidak hadir

C.     Munasabah
Dalam ayat-ayat yang lalu, Allah SWT menerangkan bagaimana seharusnya sikap dan akhlak orang-orang mukmin terhadap nabi SAW dan terhadap orang-orang munafik, maka pada ayat berikut ini Allah menjelaskan bagaimana sebaiknya pergaulan orang-orang mukmin di tengah-tengah kaum mukminin sendiri. Di antaranya, mereka dilarang memperolok-olokan saudara-saudaranya mereka, memanggil-manggil mereka dengan gelar-gelar yang buruk dan berbagai tindakan yang menjurus kearah permusuhan dan kedzaliman. Selanjutnya dalam ayat 12 surat Al-Hujurat etika hubungan tersebut dilanjutkan dengan larangan saling berburuk sangka (negatif thinking), menghindari mencari-cari kesalahan orang lain, membicarakan keburukan orang lain (menggunjing) agar terhindar dari perbuatan tersebut seseorang hendaknya meningkatkan ketakwaan kepada Allah. [3]
D.    Asbabun nuzul
Al-Hakim dan lainnya meriwayatkan dari Abu Jabairah, ia mengatakan bahwa dahulu sering ada julukan-julukan pada masa Jahiliyah sehingga Rasulullah Saw. pernah memanggil seorang laki-laki dengan julukan. Kemudian ada seorang yang berkata kepada beliau, “wahai Rasulullah, sungguh ia benci terhadap panggilan itu. Maka Allah menurunkan ayat, “Dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk…”
Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Ibnu Jurair, ia mengatakan orang-orang menyangka bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Salman Al-Farisi yang makan kemudian tidur dan mendengkur. Salah seorang laki-laki kemudian menuturkan makan dan tidurnya salman, maka turunlah ayat tersebut.[4]
E.     Tafsir
-          Tafsir Ibnu Katsir
Qs. Al-Hujarat ayat 11, telah diriwayatkan oleh imam ahmad bahwa abu hubairah bin dahhak mengatakan, “ayat ini, dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar yang buruk” diturunkan berkenaan dengan kami, bani salama. Dan, tidak ada seorangpun diantara ami melainkan dia mempunyai dua atau tiga nama. Maka bila beliau memanggil seseorang dengan salah satu namanya, maka orang-orang mengatakan, ya rasulallah dia marah jika dipanggil dengan nama itu. Firman allah swt selanjutnya, “seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk sesudah iman.”, yaitu sejelek-jelek sifat ialah yang buruk. Yaiutu, saling memanggil dengan nama yang buruk, sebagaimana sifat menyifati yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah, setelah kalian masuk islam dan kalian memahami keburukannya.
 Qs. Al-Hujarat ayat 12, diriwayatkan kepada kami Amirul Mukminin Umar bin Khathab bahwa beliau mengatakan, “Berprasangka baiklah terhadap tuturan yang keluar dari mulut saudaramu yang beriman, sedang kamu sendiri mendapati adanya kemungkinan tuturan itu mengandung “Kebaikan”. Diriwayatkan oleh Muslim dan Tirdmizi, lalu beliau menyahihkannya dari hadits Sufyan bin Uyainah. Firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan oranglain”.
-          Tafsir Al-Azhar
wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan daripada prasangka.” (pangkal ayat 12). Prasangka ialah tuduhan yang bukan-bukan persangkaan yang tidak beralasan, hanya semata-mata tuhmat yang tidak pada tempatnya saja; “karena sesungguhnya sebagian daripada prasangka itu adalah dosa.” Prasangka adalah dosa, karena dia adalah tuduhan yang tidak beralasan dan bisa saja memutuskan silaturahmi di antaradua orang yang terbaik.
Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” Mengorek-ngorek kalau-kalau ada si anu dan si fulan bersalah, untuk menjatuhkan maruah si fulandi muka umum. “Dan janganlah kamu sebagian kamu menggunjing sebagian lain.” Menggunjing adalah membicarakan aib dan keburukan seseorang sedang dia tidak hadir, sedang dia berada di tempat lain. Ini adalah perbuatan hina dan pengecut! Dalam lanjutan ayat dikatakan; “Apakah suka seseorang di antara kamu memakan saudaranya yang sudah mati?” Artinya, bahwasannya membicarakan keburukan seseorang yang tidak hadir, samalah artinya memakan daging manusia yang sudah mati,tegasnya makan bangkai yang busuk. Begitulah hinanya! Kalau engkau seorang manusia yang bertanggungjawab, mengapa engkau tidak mau mengatakan di hadapan orang itu terang-terang apa kesalahannya, supaya diubahnya kepada yang baik? “Maka jijiklah kamu kamu kepadanya.” Memakan bangkai temanmu yang telah mati sudah pasti engkau jijik. Maka membicarakan aib celanya sedang saudara itu tidak ada samalah artinya dengan memakan bangkainya. Kalau ada sececah iman dalam hatimu tentu engkau percaya apa yang disabdakan Tuhan.
“Dan bertakwalah kepada Allah: sesungguhnya Allah adalah penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (ujung ayat 12). Artinya, jika selama ini perangai yang buruk ini ada pada dirimu, mulai sekarang segeralah hentikan dan bertaubatlah daripada kesalahan yang hina itu disertai dengan penyelasan dan bertaubat. Allah senantiasa membuka pintu kasih sayang-Nya, membuka pintu selebar-lebarnya menerima kedatangan para hamba-Nya yang ingin menukar perbuatan yang salah dengan perbuatan yang baik, kelakuan yang durjana hina dengan kelakuan yang terpuji sebagai manusia yang budiman.[5]
Dalam hal ini etika sosial yang terkandung dalam surat al- Hujurat ayat 11- 12 terhadap pembinaan akhlak yakni:
1.      Tidak mengolok-olok
Dengan tidak mengolok-olok orang lain, menjadikan pribadi muslim tidak suka mengejek dan tidak sombong terhadap orang lain. Petunjuk al-Qur’an yang tertanam dalam jiwa seorang muslim akan melahirkan pribadi yang mencintai dan tawadhu’ serta jauh dari sifat takabur dan merasa lebih tinggi dari orang lain. 
2.      Tidak Mencela
Dalam hal ini, tidak mencela sebagai wujud agar tidak terjadi penghinaan terhadap diri sendiri yang berakibat ia menjadi kufur, mencegah dari kehinaan dan kenistaan.
3.      Tidak memanggil dengan gelar buruk
Manusia yang bermasyarakat dapat dijadikan pedoman bahwa tidak seharusnya mengikuti kehendak diri sendiri dengan memanggil seseorang dengan menyakiti atau menyinggung orang lain.
4.      Tidak berburuk sangka
Tidak berburuk sangka menggugah rasa kemanusiaan, karena dapat menjaga hubungan harmonis, baik secara vertikal maupun horisontal.
5.      Tidak mencari-cari kesalahan orang lain
Mampu mempertimbangkan apa yang ada pada dirinya dengan yang ada pada orang-orang lain, sehingga sebelum bertindak ia memperbaiki dirinya sendiri.
6.      Tidak menggunjing
Dengan tidak menggunjing termasuk menjaga kehormatan saudaranya, dapat mencapai integritas yang baik dan menjaga semangat kegotongroyongan serta keharmonisan.[6]
Soal-soal yang dikecualikan dan tidak diharamkan dalam bergunjing itu ada enam perkara yaitu:
-          Dalam rangka kedzaliman supaya dapat dibela oleh seorang yang mampu menghilangkan kedzaliman itu.
-          Jika dijadikan bahan untuk merubah sesuatu kemungkaran dengan menyebut-nyebut kejelekan seseorang kepada seorang penguasa yang mampu mengadakan tindakan perbaikan.
-          Di dalam mahkamah, seorang yang mengajukan perkara boleh melaporkan kepada mufti atau hakim bahwa ia telah dianiaya oleh seorang penguasa yang (sebenarnya) mampu mengadakan tindakan perbaikan.
-          Memberi peringatan kepada kaum muslimin tentang suatu kejahatan atau bahaya yang mungkin akan mengenai seseorang misalnya menuduh saksi-saksi tidak adil, atau memperingatkan seseorang yang akan melangsungkan pernikahan bahwa calon pengantinnya adalah seorang yang mempunyai cacat budi pekertinya, atau mempunyai penyakit yang menular.
-          Bila orang yang diumpat itu terang-terangan melakukan dosa di muka umum, seperti minum arak di hadapan khalayak ramai.
-          Mengenalkan seorang dengan sebutan yang kurang baik, seperti a’war (orang yang matanya buta sebelah) jika tidak mungkin mengenalinya kecuali dengan nama itu.

F.      Aspek tarbawi
      Pelajaran yang dapat kita petik dari ayat 11-12 diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Tidak dibenarkan mengejek, baik langsung dihadapan yang diejek, maupun yang tidak langsung/ tanpa diketahui yang diejek. Baik ejekan itu dengan isyarat, bibir, tangan, atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan.
2.      Ayat 11 melarang mengejek diri sendiri, dalam arti jangan mengejek orang lain karena mengejek orang lain sama dengan mengejek diri sendiri. Ini karena masyarakat adalah satu kesatuan. Itu juga berarti jangan melakukan sesuatu yang mengundang ejekan orang lain.
3.      Larangan memberi gelar atau memanggil siapapun dengan gelar-gelar buruk. Jangan pula menyebut aib orang lain, kendati aib itu benar. Kalau diperlukan maka yang disebut dari aib hanya sebatas yang diperlukan.[7]
4.      Jangan mengusik orang dalam kerahasiaannya karena setiap orang berhak menyembunyikan apa yang enggan diketahui orang lain.
5.      Prasangka buruk terlarang, kecuali yang mempunyai indikator yang memadai.
6.      Tidak mencari kesalahan orang lain, mampu mempertimbangkan apa yang ada pada dirinya dengan yang ada pada orang-orang lain, sehingga sebelum bertindak ia memperbaiki dirinya sendiri.









BAB III
PENUTUP
      Kesimpulan
            Etika social atau adab bergaul di masyarakat merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab manusia sebagai anggota umat manusia. Seperti yang dijelaskan dalam Q.S Al-Hujurat ayat 11-12, bahwa sesama manusia tidak diperbolehkan mengolok-olok, mengejek, manggil memanggil dengan gelar yang buruk, berprasangka buruk terhadap orang lain, mengusik orang dalam kerahasiaannya dan mencari kesalaha orang lain.







DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghiy, Ahmad Musthafa. 1989. Tafsir Al-Maraghiy, juz XXVI,
diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal ,dkk. Semarang: CV Toha
putra.
As-Suyuthi. 2014. Asbabun An-Nuzul, cet. I, edisi terjemahan oleh Andi
            Muhamad ayahril dan Yasir Maqasid. Jakarta: Al-Kausar.
Hamka. 1982. Tafsir Al- Azhar. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas.
Nata, Abuddin. 2002. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo
            Persada.
Shihab, M. Quraish. 2012. Al-lubab: makna, tujuan dan pelajaran dari surah-
            surah Al-Qur’an, penyunting Abd. Syakur Dj. Tangerang: Lentera Hati.
                          . 2005. Tafsir Al-Mishbah. Tangerang: Lentera Hati.



[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Tangerang: Lentera Hati, 2005), hlm. 254.
[2] Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, juz XXVI, diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal ,dkk. (Semarang: CV Toha putra, 1989) hlm. 223.
[3] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 238-239.
[4] Imam As-Suyuthi, Asbabun An-Nuzul, cet. I,  edisi terjemahan oleh Andi Muhamad ayahril dan Yasir Maqasid. (Jakarta: Al-Kausar, 2014), hlm. 498-499.
[5] Hamka, Tafsir Al- Azhar (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1982), hlm. 205-208.
[6] M. Quraish Shihab, Al-lubab: makna, tujuan dan pelajaran dari surah-surah Al-Qur’an, penyunting Abd. Syakur Dj, (Tangerang: Lentera Hati, 2012) hlm.  

[7]  Ibid., hlm. 13.