PERKEMBANGAN JIWA AGAMA PADA MASA REMAJA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perkembangan merupakan serangkaian perubahan progresif
yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman namun
perkembangan bukanlah sekadar penambahan ukuran pada tinggi dan berat badan seseorang
atau kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur
dan fungsi yang kompleks.
Perkembangan
jiwa keagamaan pada masa remaja itu kiranya dapat didefinisikan sebagai suatu
periode dalam perkembangan yang dijalani seseorang yang terbentang semenjak
berakhirnya masa kanak-kanaknya sampai datangnya awal masa dewasanya.
Masa remaja
sering kali dikatakan sebagai periode ketidakberdayaan karena banyaknya remaja
yang akrab dengan alkohol, obat-obat terlarang dan hubungan seksual serta
hal-hal yang menyimpang lainnya. Untuk tumbuh dan berkembang secara normal
manusia memerlukan bantuan dari luar dirinya. Bantuan yang dimaksud yaitu bimbingan dan pengarahan dari
lingkungannya yang diharapkan sejalan dengan kebutuhan manusia itu sendiri,
karena bimbingan yang tidak searah dengan potensi yang dimiliki akan berdampak
negative bagi perkembangan manusia dimasa yang selanjutnya. Mengingat akan
pentingnya perkembangan jiwa keagamaan pada remaja bagi masa selanjutnya, maka
berikut akan dibahas mengenai perkembangan jiwa keagamaan pada masa remaja.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut perlu kiranya
merumuskan masalah sebagai pijakan untuk terfokusnya kajian makalah ini. Adapun
rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perkembangan rasa agama ?
2. Apa
saja faktor-faktor
perkembangan jiwa keagamaan pada remaja ?
3. Bagaimana Sikap
remaja terhadap agama ?
4. Apa faktor yang
berpengaruh terhadap perkembangan keagamaan remaja ?
5. Bagaimana pendidikan
agama pada remaja ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan
rasa agama
Dalam pembagian
tahap perkembangan manusia, maka masa remaja menduduki tahap progresif. Dalam
pembagian yang agak terurai masa remaja mencakup masa juvenilitas
(adolescantium), pubertas, dan nubilitas. Sejalan dengan perkembangan jasmani
dan rohaninya, maka agama pada para
remaja turut dipengaruhi perkembangan itu. Maksudnya penghayatan para remaja
terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada para remaja banyak
berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut.
Masa remaja
merupakan masa peralihan yang dilalui oleh seorang anak menuju masa
kedewasaannya, atau dapat dikatakan bahwa masa remaja adalah perpanjangan masa
anak-anak sebelum mencapai masa dewasa.[1]
B.
Faktor-faktor perkembangan
jiwa keagamaan pada remaja
Perkembangan
agama pada remaja ditandai oleh beberapa faktor diantaranya adalah :
1.
Pertumbuhan
akal (intelektual)
Pertumbuhan intelektual pada masa remaja berarti
perubahan-perubahan yang terjadi pada kuantitas dan kualitas kinerja akal. Itu
karena kemampuan akal berkembang dengan lebih cepat bila dibandingkan fase-fase
sebelumnya, dimana kematangan akal menjadi sempurna pada akhir fase ini.
Perkembangan kemampuan akal ini merupakan faktor terpenting yang
membantu remaja beradaptasi dengan dirinya dan lingkungan sosialnya. Syaratnya,
tersedia pendidikan yang bagus serta pengarahan yang sesuai dengan fase ini,
dimana pertumbuhan akal memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan
remaja selama terjadinya perubahan-perubahan fisik, mental, dan sosial.
2.
Pertumbuhan
emosi
Banyaknya dan beragamnya emosi remaja merupakan konsekuensi wajar
dari fase pertumbuhan yang sedang ia jalani, karena pada fase ini muncul
energi-energi dan kemampuan-kemampuan fisik dan akal. Semua energi dan
kemampuan itu saling beraksi dan bereaksi untuk menyempurnakan identitas remaja
kalau dia menemukan lingkungan keluarga dan sosial yang memahami tabiat remaja
sebagai fase pertumbuhan yang memiliki karakteristik berbeda dengan fase-fase
usia sebelumnya. Sehingga, remaja diperlakukan dengan sikap yang bisa
mengembangkan dan mengarahkan karakteristik ini guna mewujudkan apa yang
terbaik bagi individu yang bersangkutan dan masyarakatnya. Hal ini
menghindarkan remaja dan masyarakat dari risiko konflik –konflik mental, yang
dianggap sebagai akibat yang wajar dari metode-metode pendidikan yang salah dan
dari persepsi salah remaja tentang diri dan kepribadiannya, dimana emosi-emosi
remaja terfokus sekitar dirinya dan kedudukan sosialnya. Sumbernya adalah perhatian
remaja kepada perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya.[2]
Sejak permulaan fase pertumbuhan ini, emosi remaja berkembang ke
arah emosi kompleks setelah sebelumnya berupa emosi
simpel. Ciri emosi pada masa kanak-kanak adalah simpel, artinya satu peristiwa
membangkitkan satu emosi. Sementara pada masa remaja, satu stimulus peristiwa
terkadang memancing lebih dari satu
emosi, misalnya dengan memancing dua atau lebih emosi. Stimulus / atau pemicu
emosi masa kanak-kanak bersifat materi konkret, sementara pada masa remaja
material dan abstrak, atau material abstrak dalam waktu yang bersamaan.
Para psikolog telah melakukan kajian mengenai emosi pada fase
remaja. Di antara mereka ada yang menyebutkan bahwa emosi pada fase remaja
memiliki karakteristik sebagai berikut :
-
Sangat sensitif
-
Tanda-tanda
putus asa dan depresi
-
Berontak dan
membangkang
-
Bebas
3. Pertumbuhan sosial
An-Nu’maan bin Basyiir meriwayatkan bahwa
Rasulullah bersabda yang artinya, “
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal cinta dan kasih sayang mereka adalah seperti
satu tubuh. Jika ada anggota yang mengeluh sakit, anggota-anggota yang lain
akan merespons dengan tidak tidur dan demam.” (HR Muslim)[3]
Jadi,
remaja muslim di masyarakatnya ibarat satu anggota tubuh. Dan, jelas bahwa
terjangkitnya satu bagian dari tubuh oleh penyakit menyebabkan seluruh tubuh
merespons dan terpengaruh. Inilah adalah sebuah isyarat, seringkali islam
mengingatkan orang muslim kepadanya. Barangkali hal itu meliputi seluruh
interaksi sosial. Dia adalah pembatas bagi egoisme dan, pada saat yang sama,
mengingatkan si penganiaya akan rasa sakit yang seharusnya dia rasakan sebagai
akibat dia menyakiti saudaranya.
Pendidikan
sosial dalam Al-Qur’an meliputi pembinaan dan pembentukan individu yang
berakhlak tinggi, agar dia menjadi pembuka kebaikan dan penutup kejahatan pada
setiap waktu, menyucikan jiwa remaja dari semua akhlak rendah, memperkuat di
dalam dirinya faktor-faktor pendorong amal sholeh. Hal itu tidak akan
terealisasi tanpa pengembangan pemahaman akhlak dan perilaku sosial, agar
terbuka baginya kesempatan untuk mengetahui hikmah prinsip-prinsip akhlak, dan
agar dia bisa membedakan antara perilaku yang baik dan perilaku yang jahat.
C.
Sikap remaja
terhadap agama
Sikap dan minat
remaja terhadap masalah keagamaan dapat dikatakan sangat bergantung pada
kebiasaan masa kecil dan lingkungan agama
yang memengaruhi besar-kecil minat mereka terhadap masalah keagamaan.
Berdasarkan faktor-faktor dominan yang telah disebut diatas, Zakiah (1970:91)
membagi sikap remaja terhadap masalah keagamaan sebagai berikut :
1.
Percaya
turut-turutan
Sesungguhnya
kebanyakan remaja yang percaya kepada Tuhan dan menjalankan ajaran agama,
adalah mereka yang terdidik dalam lingkungan yang beragama, ibu-bapaknya orang
beragama, teman-teman dan masyarakat kelilingnya rajin beribadah.[4]
Oleh karena itu, mereka pun ikut percaya dan melaksanakan ibadah dan
ajaran-ajaran agama, sekadar mengikuti suasana lingkungan dimana ia hidup.
Kepercayaan seperti inilah yang disebut kepercayaan yang turut-turutan. Mereka
seolah-olah apatis, tak ada perhatian untuk meningkatkan agama dan tak mau
aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.
Kepercayaan turut-turutan itu biasanya terjadi apabila
orangtuanya memberikan didikan agama dengan cara yang menyenangkan, jauh dari
pengalaman-pengalaman pahit di waktu kecil, dan di masa remaja juga tidak
mengalami peristiwa-peristiwa atau hal-hal yang menggoncangkan jiwanya,
sehingga secara kekanak-kanakan dalam beragama itupun terus bertahan dan
berkelanjutan, dan tak perlu di tinjau ulang. Akan tetapi, ketika dalam usia
remaja, mereka menghadapi peristiwa-peristiwa yang mendorongnya untuk meneliti kembali
pengalaman-pengalamannya di waktu kecil, ketika itu kesadarannya akan timbul,
sehingga terlihat dalam dirinya semangat keagamaan yang tinggi, atau mungkin
ragu-ragu, bahkan anti agama. Percaya turut-turutan ini biasanya tak lama, dan
pada umumnya hanya pada masa-masa remaja pertama (umur 13-16 tahun). Setelah
itu, biasanya akan terjadi perkembangan ke arah jiwa yang lebih kritis dan
lebih sadar.
2.
Percaya dengan
kesadaran
Sebagaimana
telah diketahui bahwa masa remaja adalah masa perubahan dan kegoncangan di
segala bidang, yang dengan perubahan jasmani yang sangat cepat jauh dari
keseimbangan dan keserasian. Setelah kegoncangan remaja pertama ini agak reda,
yakni sekitar usia 16 tahunan, dan pertumbuhan jasmani hampir selesai, remaja
dapat berpikir lebih matang, dan pengetahuannyapun semakin bertambah. Semua itu
mendorong remaja untuk lebih memikirkan dirinya sendiri. [5]
Kesadaran atau
semangat keagamaan pada masa remaja dimulai dengan kecenderungannya untuk
meninjau dan meneliti ulang cara ia beragama di masa kecil dulu. Kepercayaan
tanpa pengertian yang diterimanya masa kecil tak memuaskan lagi. Biasanya
semangat keagamaan seperti itu tidak terjadi sebelum umur 17 atau 18 tahun.
Semangat keagamaan itu mempunyai dua bentuk, yaitu semangat positif dan
semangat khurafi.
3.
Kebimbangan
beragama
Sesungguhnya
kebimbangan terhadap ajaran agama yang pernah diterima tanpa kritik semasa
kecil merupakan pertanda pula bahwa kesadaran beragama telah terasa oleh
remaja. Tentunya, kemampuan untuk merasa ragu-ragu terhadap apa yang dulu
diterimanya begitu saja berhubungan erat dengan pertumbuhan kecerdasan yang
dialaminya. Biasanya, kebimbangan itu mulai menyerang remaja setelah
pertumbuhan mencapai kematangannya, sehingga ia dapat mengkritik, menerima, atau
menolak apa saja yang diterangkan kepadanya.
4.
Tak percaya
kepada Tuhan
Salah satu
perkembangan yang mungkin terjadi pada akhir masa remaja adalah mengingkari
wujud Tuhan sama sekali dan menggantinya dengan keyakinan lain atau mungkin tak
memercayai-Nya sama sekali.
Ketidakpercayaan
sama sekali kepada Tuhan tidak terjadi sebelum umur 20 tahun. Mungkin saja
terjadi pengakuan dari seorang remaja bahwa dirinya ateis, tetapi ketika
dianalisis, di balik keingkarannya itu, tersembunyi kepercayaan kepada Tuhan.
Perkembangan
remaja ke arah ateisme, sebenarnya telah berakar atau timbul sejak kecil.
Ketika seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua,
sejak itulah tertanam dalam dirinya sikap menentang terhadap kekuasaan orang
tua, dan pada gilirannya pada kekuasaan siapapun. Ketika mencapai usia remaja,
tantangan tersebut menampakkan diri dalam bentuk penentangan terhadap Tuhan, bahkan
terhadap wujud-Nya.[6]
D. Faktor
yang berpengaruh terhadap perkembangan keagamaan remaja
Agama menyangkut kehidupan batin
manusia. Oleh karena itu, kesadaran
agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi-sisi batin dalam
kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia gaib. Dari
kesadaran agama ini dan pengalaman agama ini, muncul sikap keagamaan yang
ditampilkan seseorang.
Sikap keagamaan adalah suatu kondisi
diri seseorang yang dapat mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan
kadar ketaatannya terhadap agama. Sikap keagamaan merupakan integrasi secara
kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama, serta tindak keagamaan dalam
diri seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa sikap keagamaan menyangkut atau
berhubungan erat dengan gejala kejiwaan. Beranjak dari kenyataan yang ada sikap
keagamaan seseorang terbentuk oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern.[7]
E.
Pendidikan
agama pada remaja
Masalah agama tak dapat dipisahkan
dari kehidupan masyarakat termasuk remaja, karena agama diperlukan dalam
kehidupan bermasyarakat. Agama yang secara praktiknya memberikan fungsi
edukatif perlu
dilaksanakan masyarakat penganutnya.
Menurut Zakiah
(1970: 132-134), masalah pokok yang sangat menonjol berkenaan dengan keberagamaan
di kalangan remaja dewasa ini adalah kaburnya nilai-nilai moral di mata
generasi muda. Mereka dihadapkan pada berbagai kontradiksi dan aneka ragam
pengalaman moral yang menyebabkan mereka bingung untuk memilih mana yang baik
untuk mereka. Hal ini tampak jelas pada mereka yang sedang berada pada usia
remaja, terutama mereka yang hidup di kota-kota besar indonesia, yang mencoba
mengembangkan diri ke arah kehidupan yang di sangka maju dan modern di mana
berkecamuk aneka ragam kebudayaan asing yang masuk seakan terselamatkan dari
kehancuran, dan seolah-olah tanpa saringan.
Seandainya kita
segera menyadari bahaya yang terjadi dan
mengambil langkah-langkah positif ke arah pembinaan kehidupan moral dan agama
secara sungguh-sungguh, mudah-mudahan generasi muda kita akan terselamatkan
dari kehancuran, dan tujuan pembangunan kita dapat tercapai.
Pendidikan
agama di kalangan generasi muda atau remaja, baik dalam keluarga, sekolah,
maupun masyarakat, perlu mendapatkan perhatian yang serius dan menjadi skala
prioritas yang harus direalisasikan secara serentak oleh semua pihak, baik
pendidikan formal maupun nonformal.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masa remaja merupakan masa peralihan yang dilalui oleh seorang anak
menuju masa kedewasaannya. Faktor-faktor
perkembangan jiwa keagamaan pada remaja adalah pertumbuhan
akal (intelektual), pertumbuhan emosi, dan pertumbuhan
social.
Pendidikan
agama di kalangan generasi muda atau remaja, baik dalam keluarga, sekolah,
maupun masyarakat, harus mendapatkan perhatian yang serius
dan menjadi skala prioritas yang harus direalisasikan secara serentak oleh
semua pihak, baik pendidikan formal maupun nonformal.
B.
Saran
Penulis sangat menyadari bahwa dalam pembuatan
makalah ini, masih belum sempurna.Penulis sangat membutuhkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah ini, dengan meningkatkan
wawasan dan pengetahuan kita tentang kebahasaan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bambang Syamsul. 2008. Psikologi Agama. Bandung : Pustaka Setia.
Az-Za’balawi, Muhammad Sayyid Muhammad. 2007. Pendidikan
Remaja Antara
Islam Dan Ilmu Jiwa. Jakarta : Gema
Insani.
Ramayulis, Haji. 2002. Psikologi Agama. Jakarta
: Kalam Mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar